Hiburan

Garut Theater, Dari Layar Perak, Dentuman Musik, hingga Bale Budaya

Garut Theater, Dari Layar Perak, Dentuman Musik, hingga Bale Budaya
Bagian depan Bale Paminton “Inten Dewata”, ex. Gedung Bioskop Garut Theater. 📷 Sumber foto: Koleksi Geri Muzayyin (foursquare.com, 2013). (Imajinari.com)

Imajinari.com - Di jantung kota Garut, tepatnya di Jalan Ahmad Yani, pernah berdiri megah sebuah bangunan yang menjadi saksi bisu geliat hiburan dan kebudayaan kota dodol ini. Namanya: Garut Theater. Bagi generasi 80-an hingga awal 2000-an, nama ini menyimpan kenangan kolektif. Tak sekadar tempat menonton film, Garut Theater adalah panggung mimpi—tempat di mana suara dentuman musik dan semangat anak muda Garut membakar ruang.

Salah Satu Layar Lebar Pertama di Garut

Garut Theater dibangun di era ketika televisi masih barang mewah, dan bioskop adalah jendela dunia. Di masa kejayaannya, Garut Theater menjadi satu dari sedikit tempat hiburan rakyat yang menayangkan film-film nasional hingga internasional.

Banyak keluarga Garut datang berbondong-bondong untuk menyaksikan film-film legendaris seperti Warkop DKI, Rhoma Irama, hingga film barat yang sedang naik daun.

Selain film, bioskop ini juga menjadi ruang temu sosial, percakapan budaya, dan kadang tempat pelarian dari penatnya rutinitas.

Panggung Alternatif: Nafas Kedua Garut Theater

Memasuki era 90-an hingga awal 2000-an, fungsi Garut Theater mulai meluas. Dari bioskop, ia menjelma menjadi venue gigs musik, tempat yang merangkul energi anak muda Garut yang meledak-ledak, terutama dari kalangan pecinta musik bawah tanah.

Nama-nama besar skena underground nasional seperti Keparat dan Jeruji pernah memanaskan panggung Garut Theater, membakar atmosfer dengan riff gitar keras dan crowd surfing. Bahkan band pop nasional Java Jive pun pernah manggung di tempat yang sama, menunjukkan bagaimana ruang ini menjadi simpul lintas genre.

Tapi bukan hanya band luar kota. Garut Theater juga adalah rumah pertama bagi band-band bawah tanah lokal, yang lahir dari gang-gang kecil, studio sempit, dan semangat DIY tanpa kompromi. Sebut saja:

  • TUTAB, dengan punk rock-nya yang brutal,
  • Holocaust, yang mengusung nuansa hardcore kental,
  • School Is Dead, punk keras penuh protes sosial,
  • Deserter, dengan racikan hardcore/thrash yang menghentak,
  • Penismile, band ska/punk eksperimental dengan lirik satir dan frontal,
  • Struggle for Violence, pembawa pesan keras lewat hardcore padat,
  • dan banyak lagi band lokal lainnya—yang sebagian besar kini mungkin tinggal nama, tapi pernah menggetarkan venue itu dengan idealisme dan amplifikasi mentah.

Garut Theater menjadi tempat pertemuan lintas subkultur: anak-anak punk, metalhead, hardcore kids, hingga mereka yang hanya ingin menikmati live music apa adanya.

Di sinilah solidaritas skena Garut terbentuk, diikat bukan oleh uang, tapi oleh semangat kolektif dan kebersamaan.

Mati Pelan-pelan, Hidup Kembali Sebagai Bale Budaya

Namun seperti banyak ruang alternatif lainnya, Garut Theater tak bisa melawan arus perubahan zaman. Masuknya era digital, menurunnya minat menonton film konvensional, dan kurangnya dukungan terhadap ruang seni alternatif membuat gedung ini perlahan meredup. Akhirnya, sekitar pertengahan 2000-an, Garut Theater menutup operasionalnya. Gedung dibiarkan kosong, terlupakan, lapuk oleh waktu.

Sampai akhirnya, pemerintah daerah melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan melihat nilai sejarah dan potensi kulturalnya. Bangunan tua ini direvitalisasi dan dialihfungsikan menjadi Bale Paminton Intan Dewata, sebuah gedung pertunjukan seni dan budaya.

Nama “Bale Paminton” sendiri berarti rumah pertunjukan, dan “Intan Dewata” dipilih sebagai simbol kekayaan budaya Sunda dan keindahan Garut. Kini, gedung yang dulu menjadi surga gigs bawah tanah itu menjadi tempat pagelaran tari tradisional, wayang, seminar budaya, dan pertunjukan formal lainnya.


Antara Kenangan dan Harapan

Bagi sebagian orang, transformasi ini menyisakan haru. Dari dentuman drum dan circle pit, kini ruangan itu diisi gamelan dan tembang Sunda. Tapi di balik perubahan fungsi, Garut Theater—atau kini Bale Paminton Intan Dewata—tetap menyimpan ruh kesenian dan perlawanan kreatif anak muda Garut.

Mereka yang pernah berdiri di panggungnya, berteriak lantang lewat mikrofon rusak, atau melompat dari pinggir stage ke kerumunan crowd, akan selalu ingat satu hal: di sinilah semuanya dimulai.


Garut Theater bukan sekadar gedung. Ia adalah monumen kolektif. Sebuah kapsul waktu skena musik Garut yang pernah mendidih, melawan sunyi, dan membuktikan bahwa budaya tak harus selalu rapi dan resmi. (*)

0 Komentar :

Belum ada komentar.