Opini

Ketika Negara Rajin Menagih, Tapi Malas Melayani

Ketika Negara Rajin Menagih, Tapi Malas Melayani
Ilustrasi. (Imajinari.com)

Oleh: Ilmi Girindra

“Tenang saja, saya bukan pengemis bantuan sosial.”

Begitu kira-kira ungkapan yang sering tak terucap oleh sebagian warga negara yang setiap harinya harus mencari pekerjaan sendiri, menciptakan lapangan kerja sendiri, bahkan menyembuhkan dirinya sendiri—tanpa sedikit pun bantuan dari negara.

Lucunya, di tengah ketekunan warga seperti ini, negara justru tampak rajin mengetuk-ngetuk dompet rakyat. Pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, hingga pajak senyum—yang belum resmi tapi sudah terasa.

Negara seolah-olah tak bisa hidup tanpa bantuan rakyat. Ironisnya, rakyat yang hidup tanpa bantuan negara justru dicurigai, diawasi, dan dikejar-kejar bila tak patuh.

Coba bayangkan: negara yang kerap disebut "pelayan rakyat", tapi ketika rakyatnya meminta pelayanan, dianggap terlalu banyak menuntut. Minta layanan kesehatan yang layak? Dibilang beban. Minta pendidikan yang bermutu? Dibilang manja. Padahal itu semua adalah tugas negara, bukan hadiah ulang tahun.

Tapi coba telusuri, di mana paling semangatnya negara bekerja? Ketika rakyat belum bayar pajak. Atau menunggak iuran jaminan kesehatan satu bulan. Mesin pelacak aktif. Surat cinta dikirim.

Kalau perlu, sidang diadakan. Tapi ketika ada rakyat kelaparan di depan kantor pemerintahan? Sepi. Entah tak tahu, entah pura-pura tak tahu. Mungkin sensor kemanusiaan mereka tak sepeka sensor tunggakan.

Kita hidup di negara yang lebih cepat melacak warga tak taat pajak daripada melacak warga yang sedang sekarat.

Ini semacam negara yang gagap ketika harus memberi, tapi sangat fasih saat harus menagih. Negara yang mungkin sedang bingung: siapa sebenarnya yang harus melayani siapa?

Wajar kan kalau saya, rakyat biasa, hanya minta satu dua hal:
Akses kesehatan yang mudah.
Pendidikan yang layak.
Dan negara yang tidak hanya muncul ketika saya punya uang.

Karena kalau harus hidup tanpa bantuan negara, jangan salahkan rakyat kalau suatu saat mereka bilang:

“Kalem we. Urang mah lain pengemis bantuan. Urang mah boga nagara sorangan.” (*)

0 Komentar :

Belum ada komentar.