Oleh: Ali W. Abbas*
Dalam lanskap ekonomi global yang terus berubah, industri kreatif telah menjadi salah satu sektor paling dinamis dan menjanjikan. Indonesia pun tak ketinggalan.
Bisnis multimedia dan industri kreatif lokal menunjukkan tren pertumbuhan yang konsisten, bahkan saat sektor lain terpukul oleh pandemi dan disrupsi digital.
Di berbagai sudut negeri, kita menyaksikan lahirnya kreator-kreator muda yang penuh talenta.
Mereka hadir dalam wujud animator, desainer grafis, musisi digital, pengembang gim, hingga produser konten sosial media.
Semua bergerak dalam ekosistem digital yang memudahkan kolaborasi, distribusi, dan monetisasi.
Dengan lebih dari 200 juta pengguna internet dan dominasi usia produktif, Indonesia adalah pasar dan sekaligus pabrik ide.
Generasi muda kita tidak hanya konsumtif, tapi semakin produktif menciptakan karya. Dari YouTube, TikTok, Instagram, hingga Spotify—konten Indonesia terus tumbuh dan dinikmati secara luas, baik lokal maupun global.
Contoh konkret bisa kita lihat pada kesuksesan berbagai channel YouTube animasi lokal, seperti Animasi Si Nopal atau Tahilalats, yang berhasil membangun basis penggemar luas dengan gaya khas dan cerita yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Di sektor gim, karya anak bangsa seperti Lokapala menjadi pionir gim MOBA lokal yang menunjukkan potensi besar bila digarap serius.
Berdasarkan data Kemenparekraf, sektor ekonomi kreatif menyumbang lebih dari 7% terhadap PDB nasional.
Angka ini tentu berpotensi terus tumbuh seiring meningkatnya digitalisasi dan permintaan global terhadap konten berkualitas.
Namun industri kreatif bukan semata tentang angka ekonomi. Di balik itu, ia membawa nilai budaya, ekspresi identitas, dan bahkan diplomasi lunak (soft power).
Konten yang menghibur sering kali menjadi pintu masuk dunia untuk mengenal Indonesia—budaya, bahasa, dan gaya hidup kita.
Meski peluang besar terbuka, tak bisa dipungkiri bahwa jalan menuju ekosistem industri kreatif yang kokoh masih panjang.
Banyak tantangan yang dihadapi pelaku kreatif: akses pendanaan yang terbatas, kurangnya infrastruktur produksi di daerah, hingga regulasi perlindungan hak cipta yang belum maksimal.
Belum lagi dunia pendidikan yang masih kurang adaptif terhadap kebutuhan industri kreatif masa kini.
Masa depan industri kreatif Indonesia sangat ditentukan oleh kemauan semua pihak untuk berkolaborasi.
Pemerintah dapat berperan melalui regulasi yang progresif, insentif fiskal, serta pengembangan kawasan ekonomi kreatif di daerah.
Swasta perlu membuka ruang lebih luas untuk kerja sama dengan kreator muda. Lembaga pendidikan harus adaptif terhadap tren dan kebutuhan industri masa depan.
Kita juga memerlukan lebih banyak platform lokal untuk distribusi konten kreatif, agar tidak sepenuhnya tergantung pada algoritma media sosial global.
Marketplace digital, OTT (over the top), dan festival kreatif berbasis komunitas dapat menjadi jembatan penting.
Indonesia punya semua bahan untuk menjadi kekuatan besar dalam bisnis multimedia dan industri kreatif: talenta melimpah, kekayaan budaya, pasar besar, serta semangat wirausaha yang tumbuh.
Tapi bahan-bahan ini tidak akan jadi menu utama dunia jika tidak diolah secara strategis.
Industri kreatif tidak boleh dipandang sebelah mata. Ia adalah investasi masa depan, tidak hanya untuk ekonomi, tapi juga untuk jati diri bangsa.
Kreativitas adalah kekuatan baru Indonesia—sebuah kekuatan yang tidak bisa dibendung, hanya perlu diberi ruang dan dukungan. (*)
*Penulis adalah pelaku industri kreatif. Tinggal di Garut
0 Komentar :
Belum ada komentar.