Imajinari.com - Di negeri +62 ini, bahkan untuk masuk SMA saja sekarang sudah terasa seperti mendaftar astronot NASA.
Dulu cukup bawa nilai rapor, pakai seragam rapi, dan orangtua titip salam ke guru BK.
Sekarang? SPMB—Seleksi Penerimaan Murid Baru—sudah menjelma jadi ajang survival digital, uji nyali administratif, dan simulasi birokrasi mini sejak dini.
Kita ini negara yang katanya ingin memajukan pendidikan, tapi kok anak umur 15 tahun sudah harus mengerti cara unggah dokumen dalam bentuk PDF ukuran maksimal 200KB, paham sistem zonasi/domisili, afirmasi, mutasi, dan kombinasi sabar-doa-ikhlas.
Zonasi: Demi Keadilan yang Membingungkan
Zonasi katanya demi pemerataan. Tapi dalam praktiknya, malah bikin anak tetangga sebelah rumah bisa masuk SMA favorit, sedangkan kamu yang jaraknya cuma beda 2 RT... ditolak.
Alasannya? Koordinat rumah kamu nyasar ke kelurahan sebelah.
Hebat ya sistem kita. Punya teknologi canggih, tapi gagal membedakan rumah manusia dengan kandang ayam di Google Maps.
Afirmasi: Asal Kamu Masuk Kategori yang Tepat
Afirmasi harusnya membantu mereka yang butuh keberpihakan. Tapi sekarang, afirmasi jadi seperti main kartu UNO: siapa cepat dia dapat.
Anak-anak dipaksa bertanya ke orangtuanya: "Ma, kita tergolong miskin nggak? Bisa nggak minta surat keterangan kurang mampu sekarang juga?"
Tiba-tiba seluruh keluarga mendadak sadar kalau rumahnya sebenarnya hampir roboh secara administratif.
Jalur Prestasi: Antara Sertifikat dan Sirkus
Prestasi itu penting. Tapi ketika semua orang mengklaim punya “piagam”, sistem malah kewalahan.
Anak-anak lomba dari TK, piagam digulung, dilaminating, dipindai, diunggah. Sayangnya, sistem SPMB punya logika ajaib:
Juara 1 lomba matematika nasional nilainya bisa lebih rendah dari juara harapan 5 lomba tarik tambang antar RW.
Mungkin karena yang satu pakai format .JPG dan satunya PDF sesuai aturan.
Makanya di negeri ini, pintar saja tidak cukup. Kamu juga harus taat pada format file.
Akun, Server, dan Toleransi Tuhan
Langkah pertama SPMB: bikin akun.
Langkah kedua: login.
Langkah ketiga: tunggu karena server sibuk, server sibuk, dan... “Maaf, sistem sedang dalam perbaikan.”
Sampai akhirnya kamu merasa, mungkin Tuhan lebih cepat membalas doa daripada sistem ini membalas klik kamu.
Bayangkan generasi muda kita—calon pemimpin bangsa—dipaksa belajar bukan soal logika atau akhlak, tapi cara menang lawan error 504 Gateway Timeout.
Orangtua: Dari Support System Menjadi IT Support
Tak ketinggalan orangtua. Mereka yang dulu cuma tahu WhatsApp grup keluarga, sekarang harus ikut bantu scan dokumen, kompres file, bahkan belajar titik koordinat rumah pakai Google Earth.
Ayahmu yang teknologinya cuma sebatas remote TV, kini mendadak belajar merge PDF jam 2 pagi demi masa depanmu.
Dan ibumu mulai bertanya:"Kalau SMA saja serumit ini, kuliah nanti butuh masuk militer dulu?"
SPMB dan Seleksi Alam
Mari kita akui: SPMB sekarang bukan sekadar Seleksi Masuk Sekolah. Ia adalah seleksi siapa yang bisa bertahan hidup di tengah birokrasi digital dan absurdnya aturan.
Anak-anak tidak cuma dituntut pintar, tapi juga harus jadi ahli IT, ahli geografi, dan ahli tebak-tebakan sistem.
Maka jangan heran, kalau nanti ada anak yang tidak diterima di SMA favorit, bukan karena bodoh… tapi karena gagal unggah dokumen dengan ukuran maksimal 1MB.
Dan itulah Indonesia.
Di mana sekolah mengajarkan “jujur adalah jalan terbaik”, tapi untuk daftar saja, kita harus penuh akal dan strategi bak main catur melawan sistem.
Selamat datang di SPMB, Nak. Ini bukan sekolah pertama. Tapi mungkin ini kali pertama kamu sadar... bahwa akal sehatmu akan diuji lebih dulu daripada kemampuanmu berhitung. (*)
0 Komentar :
Belum ada komentar.