Imajinari.com - Pada 26 November 1976, dunia mendengar sesuatu yang mengganggu telinga sekaligus menyentuh syaraf paling sensitif dari sistem sosial: Anarchy in the U.K. karya Sex Pistols.
Lagu ini bukan sekadar debut band punk; ia adalah seruan perang yang dibungkus distorsi gitar. Di dalamnya, Johnny Rotten dan kawan-kawan tidak menawarkan solusi, mereka hanya memuntahkan amarah generasi muda Inggris terhadap sistem yang dianggap busuk.
Lirik pembuka, “I am an antichrist, I am an anarchist”, adalah pukulan pertama. Bukan karena maknanya yang literal, tetapi karena ia menampar wajah kemapanan dengan keberanian yang vulgar.
Kata-kata itu tidak lahir dari ruang kosong. Inggris kala itu sedang berada dalam krisis: pengangguran menembus rekor, inflasi melambung, pemogokan buruh merajalela, dan keyakinan terhadap institusi politik runtuh.
Dalam kondisi seperti itu, “anarki” bukan sekadar ideologi pinggiran, tetapi fantasi kolektif tentang kebebasan dari jeratan tatanan yang gagal memanusiakan manusia.
Lagu ini kemudian menjadi ikon perlawanan. Bukan karena keindahan musiknya, melainkan karena kejujurannya yang brutal.
Punk, dengan segala kekasarannya, lahir bukan untuk menyenangkan telinga, tetapi untuk mengguncang kesadaran.
Kini, hampir setengah abad kemudian, 'magnitude' lagu ini masih kuat dan tetap relevan. Bahkan jauh dari London—di Indonesia; Negara yang mengaku demokratis, tetapi demokrasi sering kali hanya menjadi panggung kosmetik.
Politik kita dirajut oleh oligarki, kebijakan publik kerap tunduk pada kepentingan segelintir orang, sementara hukum diperdagangkan seperti komoditas.
Ketika Sex Pistols merilis Anarchy in the U.K., dunia musik dan politik Inggris seakan disetrum oleh energi liar yang belum pernah terdengar sebelumnya. Lagu ini bukan sekadar single debut; ia adalah manifesto ideologis dalam bentuk musik.
Dalam 3 menit 31 detik, Sex Pistols menampar wajah kemapanan, menghujat sistem, dan menyalakan api perlawanan yang kemudian dikenal sebagai gerakan punk rock.
Lirik dalam lagu ini seolah menjadi pengakuan dosa sekaligus deklarasi perang terhadap segala bentuk otoritas. Johnny Rotten tidak hanya bermain kata; ia mencerminkan kekacauan sosial Inggris saat itu—pengangguran, stagnasi ekonomi, dan rasa frustrasi kelas pekerja.
Kata anarki bukan semata-mata kekacauan tanpa arah, melainkan sebuah pernyataan politik: menolak tatanan yang dianggap busuk.
Kita memang bukan Inggris 1970-an, tetapi aroma frustrasi sosial serupa mudah tercium. Ketimpangan ekonomi semakin lebar, politik identitas menguat, korupsi menjadi langganan berita, dan demokrasi terasa seperti panggung sandiwara. Kaum muda kembali dihadapkan pada banyak sekali pilihan pahit.
Ironisnya, ruang protes kian sempit. Aktivisme digital sering dilabeli ancaman, sementara demonstrasi di jalan direduksi menjadi gangguan ketertiban.
Seperti lirik Sex Pistols yang menyindir “I wanna be anarchy,” ada generasi yang ingin bebas dari tatanan mapan, tetapi tidak tahu ke mana harus menyalurkan amarahnya.
Di satu sisi, teknologi memberi megafon bagi suara perlawanan, di sisi lain, algoritma media sosial menjebak mereka dalam gelembung opini yang sering kali mandul aksi nyata.
Indonesia mungkin tidak membutuhkan anarki dalam arti literal, tetapi lagu ini mengingatkan bahwa kemarahan adalah bahan bakar perubahan.
Ketika korupsi dilegalkan atas nama proyek strategis, ketika hukum terasa tebang pilih, dan ketika suara kritis diancam dengan pasal karet, siapa yang tidak ingin mengguncang meja?
Ia seolah menjadi cermin retak yang memantulkan kebusukan sistem—dan kadang, itulah langkah pertama untuk perubahan.
Dalam konteks inilah, teriakan Sex Pistols dalam lirik Anarchy in the U.K. menemukan relevansinya di negeri ini. Bukan ajakan untuk menciptakan kekacauan tanpa arah, melainkan simbol perlawanan terhadap sistem yang gagal menunaikan janji keadilan.
Anarki yang mereka maksud bukan sekadar kekacauan; ia adalah utopia tanpa hierarki, sebuah ruang di mana manusia setara tanpa rantai otoritas.
Dalam kerangka teori politik, ini adalah bentuk anti-otoritarianisme, yang sejalan dengan ide-ide Proudhon hingga Bakunin, meskipun diekspresikan dalam bahasa vulgar budaya pop.
Mengapa hal tersebut relevan dengan Indonesia? Karena saat ini, kita melihat wajah kapitalisme yang sama busuknya, hanya dengan ornamen tropis.
Oligarki menguasai ekonomi-politik, hukum tunduk pada modal, dan demokrasi dikooptasi menjadi ritual lima tahunan tanpa makna substantif.
Kita hidup dalam sistem yang memuja pertumbuhan, tetapi membiarkan ketimpangan menjerit di jalanan. Tidak berbeda jauh dari Inggris yang melahirkan Sex Pistols saat itu.
Kapitalisme Indonesia memiliki karakter unik: ia bersekutu dengan kekuasaan politik dan menggunakan hukum sebagai alat legitimasi. UU yang lahir bukan untuk melindungi rakyat, tetapi untuk melancarkan proyek-proyek yang menguntungkan segelintir orang.
Dalam situasi ini, slogan “No Future” yang dipopulerkan punk bukan sekadar lirik; ia adalah cerminan rasa putus asa generasi muda kita. Bagaimana tidak? Akses kerja dipersempit, biaya pendidikan melambung, sementara ruang kritik disempitkan oleh pasal karet.
Di sinilah relevansinya. Sekali lagi bukan ajakan kekerasan, tetapi sebagai imajinasi politik alternatif; menolak hierarki kekuasaan yang absolut, mengkritik sentralisasi ekonomi, dan menawarkan model pengelolaan berbasis komunitas.
Yang ironisnya, dalam praktik, kita justru berjalan ke arah sebaliknya: semakin terpusat, semakin eksklusif, dan semakin menindas.
Namun, kita juga harus jujur: punk hari ini tidak lagi hidup di jalanan, melainkan di layar. Aktivisme terjebak dalam estetika digital: tagar, meme, dan konten viral. Kita berteriak di Twitter, tetapi diam di bilik suara.
Kita mengutuk oligarki, tetapi merayakan selebritas politik di TikTok. Perlawanan kita sering kali menjadi simulasi—menyerupai aksi, tetapi mandul dampak.
Anarchy in the U.K. mengajarkan bahwa kemarahan adalah bahan bakar, tetapi ia harus diarahkan. Jika tidak, ia menjadi nihilisme tanpa ujung. Punk menolak kompromi; ia menolak tunduk pada sistem yang gagal memanusiakan manusia.
Pertanyaannya, beranikah kita mengambil posisi yang sama? Atau kita puas menjadi generasi yang merayakan kebebasan dalam format sticker chat, sementara realitas semakin mengurung kita?
Ini awal dari imajinasi baru. Sebuah imajinasi tentang masyarakat yang tidak dikendalikan oleh segelintir tangan, melainkan dikelola oleh mereka yang hidup di dalamnya. Another world is possible.
Di Indonesia saat ini, simbol semacam itu terasa mendesak. Kita hidup dalam zaman ketika protes mudah dipatahkan, perbedaan pandangan dilabeli ancaman, dan kemarahan masyarakat dijinakkan dengan hiburan instan.
Namun, solusinya tidak sesederhana ide-ide utopis anarkisme. Apa yang dimaksud Sex Pistols lebih bersifat ideologis: menolak tunduk pada tatanan yang menindas.
Ia adalah dorongan untuk membangun ruang baru yang lebih setara; ruang yang semakin sulit ditemukan di era kita sekarang.
Era yang sering memerangkap kita dalam retorika digital—#SaveThis dan #JusticeForThat—yang viral sehari, lalu menghilang bersama algoritma. Gerakan sosial direduksi menjadi tren, perlawanan menjadi konten, dan revolusi menjadi bahan bakar engagement.
Di sinilah perbedaan mendasar antara punk tahun 70-an dan saat ini: punk adalah aksi, bukan estetika. Ia berisik, mengganggu, dan menolak kompromi.
Sementara kita sekarang terlalu sering terjebak dalam kenyamanan simulasi perlawanan. Rajin berteriak di media sosial, tetapi diam ketika suara kita benar-benar dibutuhkan.
Tapi, apakah ini berarti kita kehilangan potensi daya guncang? Sebetulnya tidak juga. Justru saat ini, instrumen yang tersedia jauh lebih kuat dan rancak—teknologi, jaringan global, dan akses informasi.
Tetapi instrumen itu harus digunakan dengan kesadaran politik, bukan sekadar demi citra. Jika tidak, kita hanya akan menjadi generasi yang puas memainkan peran heroik dalam panggung virtual, tanpa pernah mengubah realitas.
Anarchy in the U.K. tetap penting bukan karena 'pemujaan' terhadap anarkisme sebagai sebuah ideologi politik. Tetapi karena ia mengingatkan: setiap sistem memiliki titik rapuh, dan perubahan selalu dimulai dari keberanian untuk berkata “tidak” kepada tatanan yang timpang dan menghisap.
Apakah kita siap berkata “tidak” hari ini? Atau kita akan terus memeluk logika formal filantropis, sambil berharap keadilan jatuh dari langit?
Mungkin kita tidak lagi punya band seperti Sex Pistols. Tetapi kita masih punya suara, pena, dan pikiran. Dan selama itu ada, selalu ada cara untuk mengguncang meja, bahkan tanpa gitar listrik sekalipun. (*)
0 Komentar :
Belum ada komentar.