Imajinari.com – Jawa Barat kini punya gubernur baru: Dedi Mulyadi. Politikus nyentrik yang sejak lama dikenal dengan gebrakan budaya, blusukan ala pewayangan, dan pidato-pidato penuh filosofi Sunda. Kehadirannya tentu mengundang harapan, sekaligus tanda tanya: apakah gaya panggungnya mampu menyelesaikan pekerjaan rumah berat Jawa Barat?
Satirnya begini: Jawa Barat seperti rumah gedong nan megah, tapi atapnya bocor, dapurnya sempit, dan listriknya kadang byar-pet. Sang empunya rumah—si gubernur—lebih sering mengundang tamu dengan pesta budaya, padahal sumur belakang sudah kering.
Jika dibandingkan, Ganjar Pranowo di Jawa Tengah dulu tampil dengan gaya "rakyat jelata plus medsos", hampir setiap keluhan warga masuk Instagram pribadinya. Ridwan Kamil, pendahulu Dedi, dikenal sebagai arsitek yang doyan bangun landmark dan bermain di level branding kota-provinsi. Anies Baswedan di Jakarta dulu banyak bermain narasi besar: kota adil, kota manusia.
Nah, Dedi Mulyadi masuk dengan modal budaya. Ia kerap menyebut dirinya pewaris nilai-nilai karuhun Sunda: ngarak wayang, ngopi bareng petani, hingga bicara filosofi pohon pisang. Tapi publik tentu menunggu, apakah filosofi itu bisa menjelma jadi kebijakan konkret—bukan sekadar syair indah di mimbar.
Objektifnya, Dedi memang punya rekam jejak pembangunan infrastruktur dan desa wisata saat memimpin Purwakarta. Tapi Jawa Barat bukan Purwakarta. Di sini ada PR besar: kemiskinan struktural di selatan Jabar, banjir abadi di Garut, urbanisasi tak terkendali di Bekasi–Depok, hingga carut-marut tata ruang Bandung Raya.
Maka satir paling pas adalah: jangan sampai Jawa Barat hanya jadi "panggung budaya kolosal", sementara rakyatnya masih menonton dari bangku bambu reyot yang hampir rubuh.
Jika Ganjar identik dengan "kedekatan warga digital", Ridwan Kamil dengan "arsitektur dan branding", Anies dengan "narasi besar", maka Dedi harus memilih: apakah ia akan dikenang sebagai "gubernur pewayangan" yang pandai menghibur, atau "gubernur kerja nyata" yang sanggup mengatasi masalah struktural?
Waktu akan menguji. Karena di Jawa Barat, rakyat bukan hanya penonton wayang—mereka juga butuh nasi di dapur, jalan di desa, dan listrik di rumah. (*)
0 Komentar :
Belum ada komentar.