Imajinari.com - Fenomena berkibarnya bendera Jolly Roger dengan topi jerami—simbol kelompok bajak laut Topi Jerami dalam anime One Piece—telah menjadi pemandangan yang tak asing lagi menjelang peringatan kemerdekaan Indonesia.
Di gang-gang sempit, perumahan elite, pos ronda, bahkan kantor desa, bendera ini dikibarkan berdampingan dengan Merah Putih.
Sementara sebagian elite bingung dan cemas, sebagian rakyat justru merasa ada semangat perlawanan yang diam-diam sedang mereka rayakan.
Mengapa sebuah simbol dari dunia fiksi bisa sedemikian kuat merasuki ruang publik?
One Piece bukan hanya serial petualangan. Ini adalah kisah tentang dunia yang diatur oleh sistem yang busuk, di mana pemerintah (Pemerintah Dunia) menutupi sejarah, memonopoli kebenaran, dan menyebut siapa pun yang menolak tunduk sebagai kriminal.
Di dunia itu, bajak laut bukan selalu perampok. Justru mereka adalah perlawanan: mereka yang memilih untuk bebas, meski dunia mencap mereka sebagai musuh.
Luffy, sang protagonis, adalah manifestasi dari semangat itu. Ia tidak ingin jadi raja untuk berkuasa, ia ingin jadi raja bajak laut karena itu berarti “kebebasan sejati”—bebas dari tatanan yang curang, bebas menentukan hidup tanpa dikendalikan.
Di Indonesia, ketika kebebasan berpendapat dicegah dengan UU ITE, ketika rakyat dibatasi oleh sistem birokrasi yang rumit dan elitisme kekuasaan yang makin menjauhkan mereka dari keadilan, sangat masuk akal jika Luffy dijadikan simbol alternatif untuk harapan.
Tapi Luffy bukan satu-satunya karakter yang mewakili realitas hari ini. Ada Zoro, si pendekar buta arah yang tetap lurus pada prinsipnya—gambaran rakyat yang setia, kuat, dan tak banyak bicara, tapi sering disesatkan oleh keadaan.
Sanji, koki yang terus melindungi orang lapar bahkan ketika dirinya sendiri terluka, mencerminkan jiwa-jiwa relawan dan pekerja sosial yang terus berbagi di tengah mahalnya harga sembako.
Nami, pencuri yang dulu dibentuk oleh penindasan dan utang, adalah gambaran dari jutaan orang Indonesia yang terjebak dalam pinjaman online dan sistem ekonomi predator.
Usopp, si penakut yang belajar jadi pemberani, adalah simbol dari generasi muda yang gelisah, cemas, tapi mulai belajar bersuara.
Dan tentu saja, Nico Robin: akademisi pelarian yang diburu karena membaca sejarah dunia yang dilarang.
Bukankah ini sangat relevan dengan para peneliti, jurnalis, atau mahasiswa yang dikriminalisasi karena mengungkap data yang tak nyaman bagi penguasa?
Di dunia One Piece, Pemerintah Dunia punya alat propaganda bernama Cipher Pol, penegak hukum berkedok moralitas.
Di dunia nyata, banyak yang merasakan hal serupa—bahwa hukum bisa dikendalikan oleh kekuasaan, bahwa aparat bisa digunakan untuk melindungi kepentingan segelintir elit, bukan rakyat banyak.
Fenomena berkibarnya bendera Luffy bukan semata tren anime, ini adalah pernyataan sosial yang sangat kuat.
Ia menunjukkan bahwa banyak orang sudah muak dengan simbol-simbol negara yang terasa kosong dan tidak merepresentasikan keadilan atau harapan.
Ketika orang lebih rela mengibarkan bendera fiksi ketimbang bendera partai politik, itu adalah sinyal keras bahwa sistem representasi kita mengalami krisis.
Dunia One Piece juga mengajarkan bahwa revolusi tidak selalu lewat perang, tapi lewat keberanian untuk tidak tunduk.
Di tengah dunia yang makin tidak adil—dari krisis iklim global yang diabaikan elite dunia, perang geopolitik yang menindas rakyat kecil, hingga ketimpangan ekonomi ekstrem—kita butuh simbol yang mampu menyalakan harapan. Ironisnya, yang mampu melakukan itu bukan lagi tokoh nyata, tapi bajak laut dari cerita komik Jepang.
Namun, kita juga harus sadar bahwa bajak laut tetaplah fiksi. Mereka tidak bisa menyelesaikan krisis pangan, inflasi, kerusakan ekosistem, atau ketidakadilan hukum.
Maka semangat dari mereka harus dibawa ke dunia nyata, lewat keberanian bersuara, solidaritas, dan aksi nyata. Jika tidak, bendera Luffy hanya akan jadi tempelan di dinding yang berdebu oleh ketidakpedulian.
Fenomena ini bukan soal pengkhianatan terhadap nasionalisme. Justru ini adalah bentuk baru dari nasionalisme yang tidak dogmatis: nasionalisme yang menuntut negara benar-benar hadir, bukan hanya lewat slogan, tetapi lewat keadilan dan kesejahteraan.
Jika Luffy dan kawan-kawannya bisa menjadi pemantik kesadaran sosial dan solidaritas lintas kelas, maka biarkan bendera itu berkibar—sebagai pengingat bahwa di tengah absurditas zaman, kadang harapan ditemukan bukan di istana, tapi di kapal bajak laut. (*)
0 Komentar :
Belum ada komentar.