Opini

Ketika AI Jadi Band Pengisi Café: Solusi atau Sensasi?

Ketika AI Jadi Band Pengisi Café: Solusi atau Sensasi?
Oleh: Usepdeni Bolan, pelaku industri kreatif dan owner Bolanfilms.co

Imajinari.com - Beberapa waktu lalu, saya duduk di sebuah cafe mungil, Pipirbumi, yang tampak biasa dari luar, namun menyimpan kejutan di dalamnya. 

Kafe ini berlokasi di salah satu sudut kota Garut yang mulai ramai oleh geliat UMKM kreatif. Dan kebetulan memang cafe ini menempati lantai bawah gedung yang sama dengan Bolanfilms.co, studio foto saya yang berada di lantai dua.

Saya penasaran dengan papan kecil di depan pintu bertuliskan: "Selamat datang di café dengan musik orisinal buatan sendiri—powered by AI."

Awalnya saya kira itu sekadar gimmick marketing. Tapi saat saya coba memesan kopi dan duduk santai menikmati suasana, ada sesuatu yang terasa berbeda. 

1000469453.jpg
Salah satu sudut Pipirbumi cafe. (Imajinari.com)

 

Musik yang mengalun terdengar segar, belum pernah saya dengar sebelumnya, tapi nyaman di telinga. 

Bukan playlist yang umum diputar dari Spotify atau radio, tapi seperti lagu-lagu instrumental lo-fi dan chill-pop yang dirancang khusus untuk menemani pelanggan ngobrol, kerja, atau sekadar rehat.

Saya pun bertanya pada barista, yang ternyata juga si pemilik café. Dengan semangat, ia menjelaskan bahwa semua musik yang diputar di tempatnya adalah lagu orisinal yang ia buat bersama timnya, dengan bantuan kecerdasan buatan. 

Ia menyadari sejak lama bahwa memutar lagu berlisensi di ruang publik seperti café bisa menimbulkan masalah hukum jika tak mengantongi izin resmi.

“Saya nggak mau ambil risiko,” katanya. “Tapi saya juga nggak mau café ini sepi suara. Musik itu bagian dari service, bagian dari experience pelanggan. Maka solusinya: bikin lagu sendiri. Dan AI bisa bantu banyak.”

Saya sempat terdiam. Ini lebih dari sekadar usaha menyiasati aturan. Ini bentuk adaptasi dan inovasi. Di tengah era digital yang penuh batas dan peraturan, justru para pelaku kecil yang seringkali tertantang untuk berpikir paling kreatif. Termasuk dalam hal musik café.

Bagi sebagian besar orang, musik mungkin hanya elemen pelengkap. Tapi bagi para pemilik usaha seperti café, musik adalah bagian tak terpisahkan dari pelayanan. 

Ia menentukan mood pelanggan, memengaruhi lama waktu kunjungan, bahkan berdampak pada rasa kopi yang dinikmati. Namun tidak semua pelaku usaha punya sumber daya untuk membayar lisensi lagu-lagu populer. 

Layanan lisensi resmi seperti WAMI atau LMKN memang tersedia, tapi bagi banyak UMKM, biaya dan prosesnya sering kali terasa berat dan rumit.

Lalu hadirlah solusi yang tak terduga: AI musik generator. Teknologi ini memungkinkan siapa pun—bahkan tanpa latar belakang komposer—untuk menciptakan lagu-lagu original. 

Mulai dari memilih genre, tempo, instrumen, hingga mood lagu. Hasilnya bisa disesuaikan, diulang, dan dimodifikasi sesuai selera. Beberapa bahkan bisa langsung menghasilkan komposisi lengkap dalam hitungan menit.

Menariknya, penggunaan musik buatan AI ini tak hanya jadi solusi, tapi juga jadi diferensiasi. Café yang saya kunjungi itu, misalnya, kini dikenal di kalangan anak muda sebagai tempat dengan “musik sendiri.” 

Mereka bahkan mulai merilis lagu-lagu tersebut di kanal YouTube dan platform streaming dengan branding lokal. Alih-alih menjadi pelanggar hukum dengan memutar lagu-lagu berhak cipta tanpa izin, mereka memilih menjadi kreator baru. 

Mereka tak hanya menyajikan kopi dan makanan, tapi juga pengalaman audio yang orisinal—unik dan otentik. Hal ini mengingatkan saya pada masa ketika café bukan sekadar tempat jualan, tapi juga ruang bagi ekspresi budaya. 

Dulu, banyak café yang jadi tempat tampil band indie lokal, pembacaan puisi, atau pemutaran film komunitas. Kini, café-café mulai menciptakan sendiri musik latarnya—bukan dari panggung live, tapi dari kolaborasi manusia dan mesin.

Fenomena ini mungkin masih baru, tapi potensinya besar. Bayangkan jika tiap café punya “signature sound” sendiri. Musik yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Yang diciptakan khusus untuk merek dan atmosfer mereka. 

Bahkan mungkin, pelanggan akan bisa membeli album musik dari café favoritnya seperti membeli kopi atau roti. Teknologi AI memang bukan tanpa kritik. Sebagian pihak menyebut musik buatan AI ini “tanpa jiwa” atau “menghilangkan peran seniman.” 

Tapi di tangan para pengusaha mikro kreatif, teknologi ini tidak menggantikan manusia—melainkan memperluas kemungkinan manusia untuk tetap mencipta di tengah segala keterbatasan.

Yang dilakukan oleh para pemilik café ini bukan sekadar membuat musik, tapi menciptakan ekosistem baru: bagaimana usaha kecil bisa tetap taat aturan, menjaga pelayanan, sekaligus menjadi bagian dari industri kreatif.

Bisa jadi, di masa depan, kita akan melihat lebih banyak café, toko, galeri, atau bahkan angkot yang memutar lagu-lagu “AI original” hasil kreativitas lokal. 

Bukan karena tren semata, tapi karena kebutuhan untuk mandiri secara musikal—tanpa harus melanggar hukum atau membebani operasional usaha kecil.

Dan semua ini dimulai dari sebuah kesadaran: bahwa pelayanan terbaik tak harus datang dari hal-hal besar. Kadang cukup dari ketulusan untuk terus berinovasi. Termasuk dalam memilih suara yang menemani kopi kita.

Sementara dunia masih sibuk memperdebatkan masa depan AI, para pemilik café ini sudah lebih dulu menjadikannya teman berkarya. 

Diam-diam, tanpa banyak teori, mereka telah menjadikan teknologi sebagai bagian dari solusi.

Dan dari balik denting cangkir dan alunan nada yang asing tapi nyaman, saya pun tersenyum. 

Mungkin inilah musik masa depan: diciptakan oleh mesin, tapi tetap menyentuh manusia. (*)

0 Komentar :

Belum ada komentar.