Sainstek

BlackMatter dan Data Warga +62: Siapa Sebenarnya yang Meretas Kita?

BlackMatter dan Data Warga +62: Siapa Sebenarnya yang Meretas Kita?
Blackmatter ransomware. (Ilustrasi. Sumber foto: Industrialcyber.co/imajinari.com)

Imajinari.com - Di dunia maya, kebenaran sering tersembunyi di balik enkripsi, dan kebohongan datang dalam bentuk persetujuan syarat dan ketentuan yang tidak pernah kita baca. Maka, ketika BlackMatter—sebuah kelompok peretas dari “dunia bawah” internet—muncul dan mulai menjarah data dari perusahaan besar, publik global panik. Sementara itu, di negeri +62, orang-orang tetap sibuk bikin filter TikTok baru.

BlackMatter bekerja seperti korporasi rahasia. Mereka bukan begal jalanan, tapi CEO dalam hoodie, mengatur strategi penetrasi digital dengan efisiensi militer. Mereka mengenkripsi data perusahaan raksasa, meminta tebusan dalam Bitcoin, dan mengancam membocorkan data jika tidak dibayar.

Tapi lucunya, ketika data warga Indonesia terekspor secara legal ke perusahaan teknologi asing—termasuk yang berkantor pusat di San Francisco dan Washington DC—tidak ada yang minta tebusan. Mereka ambil gratis, kita rela tanda tangan, bahkan kasih bintang lima di Play Store.

Bayangkan ini: BlackMatter masuk diam-diam ke server instansi pemerintah. Mereka berhasil menyalin semua data, lalu menyandera sistem. Publik geger. Tapi ketika data KTP, NIK, BPJS, lokasi GPS, kebiasaan belanja, percakapan pribadi, hingga wajah dan sidik jari warga +62 justru dikumpulkan oleh aplikasi-aplikasi yang kantornya di Silicon Valley—atas nama "fitur personalisasi dan iklan yang relevan"—kita malah klik “Setuju” sambil ngopi.

Ironi itu menggigit.

BlackMatter jelas-jelas "penjahat", karena mereka datang tanpa izin dan meminta bayaran. Tapi para pengelola platform dari negeri Paman Sam? Mereka datang dengan senyum, UI ramah pengguna, dan janji "meningkatkan pengalaman Anda". Padahal hasil akhirnya sama saja: data Anda bukan lagi milik Anda.

Lebih menakutkan mana: hacker yang mengunci file Excel Anda dan meminta 3 Bitcoin, atau sistem yang dengan sopan meminta akses ke mikrofon, kamera, lokasi, galeri, dan semua kontak Anda, lalu menjual profil psikologis Anda ke pihak ketiga untuk iklan pemilu?

Kita diajari takut pada BlackMatter, tapi abai pada kenyataan bahwa server data kita banyak yang tidak disimpan di tanah air. Kita khawatir hacker dari Rusia atau Korea Utara, tapi tidur nyenyak dengan ponsel Amerika di saku celana, menyala 24 jam, mendengarkan setiap kata yang kita ucapkan.

Sementara itu, instansi-instansi di negeri ini berlomba-lomba membuat aplikasi—dari yang mengatur antrean vaksin hingga pemesanan pupuk subsidi—tanpa pernah benar-benar menjelaskan: data siapa disimpan di mana, dan dengan siapa mereka bekerja sama?

Ketika data warga +62 lebih mudah diakses oleh lembaga riset di luar negeri ketimbang oleh rakyatnya sendiri, kita seharusnya tidak hanya menyalahkan para peretas seperti BlackMatter.

Mungkin, kita juga perlu bertanya pada diri sendiri dan para pejabat: siapa sebenarnya yang membiarkan semua ini terjadi?

Karena dalam dunia digital modern, penjajahan tidak selalu datang dengan senapan. Kadang ia datang dengan tombol “Allow all cookies”. (*)

0 Komentar :

Belum ada komentar.